SINDROM STEVEN-JOHNSON
BATASAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan
suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala
umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom
muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
PATOFISIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan
pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering
berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya
SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain
(penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini
belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di :
- Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
- Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
- Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta
hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat
dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan
eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk
bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah
nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi
keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SSJ datang
dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan
dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik
spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman
dari sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid
parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan
steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek
samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan
dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin
bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun
7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin
dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bila di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak
diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi
mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi
infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2
kali/hari.
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat,
prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous
disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
2. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB.
Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108
: 485-92.
3. Gruchalla R. : Understanding drug
allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
4. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for
bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in
sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 1164–73.
5. Yawalkar N, Egli F, Hari Y.
Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced cutaneous eruptions. Clin Exp
Allergy 2000; 30 : 847-55.
6. Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y.
Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in activating and recruiting
eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions. J Allergy Clin Immunol 2000; 106
: 1171-76.
No comments:
Post a Comment