Sunday 19 July 2015

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

BATASAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.

PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
Faktor lingkungan yang mencetuskan LES, bisa dilihat pada tabel berikut :
 
Tabel 1. : Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001
·         Definite
Ultraviolet B light
·         Probable
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause = 3:1
·         Possible
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods  yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a
 
GEJALA KLINIK/SYMPTOM
·         Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga  perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
·         Serositis (pleuritis dan perikarditis).
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
·         Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar  10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
·         Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia.
·         Pneumonitis interstitialis
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
·         Susunan Saraf Pusat (SSP)
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.  Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.
·         Arthritis
Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
·         Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
 
 
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS 
Tidak ada gejala atau tanda-tanda tunggal yang cukup untuk menegakkan diagnosa. Bila seorang anak diduga LES, pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah: darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, serta pemeriksaan laboratorium tambahan lainnya seperti sel LE, antibodi anti-ds DNA, dan sebagainya. Mendiagnosa LES pada anak bisa memakai kriteria ARA, seperti berikut : 
 
Kriteria         
·         malar rash
·         discoid rash          
·         fotosensitivitas       
·         ulkus oral dan nasofaring
·         artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri bengkak atau efusi
·         serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial)
·         kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts
·         kelainan neurologis, kejang tanpa sebab lain, atau psikosa tanpa sebab lain
·         kelainan hematologi :
·         anemia hemolitik
lekopenia (< 40 per µL); limfopenia (< 1500 per µL); trombositopenia (< 1000 per µL) yang bukan karena obat-obatan
·         kelainan imunologis
sel LE positif; antibodi anti-ds DNA /anti-Sm positif; antinuclear antibodies (ANA). Titer ANA abnormal yang bukan karena obat yang menginduksi peningkatan ANA.
Interpretasi : Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa LES bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas  97%.

KOMPLIKASI
Komplikasi LES pada anak meliputi hipertensi (41%), gangguan pertumbuhan (38%), gangguan paru-paru kronik (31%), abnormalitas mata (31%), kerusakan ginjal permanen (25%), gejala neuropsikiatri (22%), kerusakan muskuloskeleta (9%) dan gangguan fungsi gonad (3%).

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.

Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin).

Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;  alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

Lupus nefritis
Tidak ada terapi khusus pada klas I dari klasifikasi WHO. Lupus nefritis kelas II (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis kelas III (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan  DPGN, khususnya bila ada  lesi focal necrotizing. Pada Lupus nefritis kelas IV (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkn tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Pada Lupus nefritis kelas V regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal. 

Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.

Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

Penurunan densitas mineral berhubungan dengan dosis dan lamanya pengobatan steroid.    Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis  tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang.
 
Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
Antimalaria     
Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)
Kortiko-steroid           
Prednison
Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu
Obat imuno-supresif   
Siklofosfamid 
500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)
Azathioprine  
1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen
7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari
Tolmetin
15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D       
Kalsium karbonat      
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensi
Nifedipin        
0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.
Enalapril        
0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol    
0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
  

PROGNOSIS
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap. 
 

DAFTAR PUSTAKA
1.  Klein-Gitteman MS, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 809-812.
2.  Lehman TJ. A practical guide to systemic lupus erythematosus. Pediatr Clin North Am 1995; 42 : 1223–38.
3. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal, neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann Intern Med 1995; 122 : 940–50.
4.  Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 243-263.
5.  Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199.

No comments:

Post a Comment