PENGERTIAN
- Difteri adalah infeksi akut yang mudah diserang terutama saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya “ pseudomembran “ ( Ngastiyah.1997 : 21 )
- Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Coryne Bakterium Diphteria ( Arif Mansjoer, Suproharta, wahyu ika wardani. 2000 : 430 )
- Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Coryne Bacterium Diphteria disertai terbentuknya pseudomembran pada mukosa dan atau kulit (lab / UPF IKA RSUD Dr. Soetomo, 1998 : 174)
ETIOLOGI
Penyebab
penyakit difteri adalah kuman Coryne Bacterium Diphteria yang bersifat :
bakteri gram positif, polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora, terdiri
dari 3 jenis basil yaitu gravis, mitis, inter medius, membentuk pseudomembran
yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan,
mengeluarkan eksotosin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan.
Berikut adalah perbedaan antara tonsil normal dengan difteri tonsil.
PATOFISIOLOGI
- Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas dan dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi.
- Kuman membentuk psedomembran dan melepaskan eksotosin. Psedomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar betah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
- Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralisis otot – otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf.
- Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.
MANIFESTASI KLINIK
Tergantung pada :
- Lokasi tempat infeksi
- Imunitas pasien
- Ada tidaknya toksin yang beredar dalam sirkulasi darah
KLASIFIKASI
- Infeksi ringan : Pseudomembran ke batas pada hidung atau parsial dengan gejala hanya nyeri menelan
- Infeksi sedang : Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
- Infeksi berat : Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan tracheostomy, juga gejala endokarditis, paralysis atau nefritis dapat menyertainya.
GEJALA KLINIS
Masa
tunas 1 – 6 hari
Gejala
umum
- Demam
- Pilek
- Sesak
- Sakit kepala
- Batuk
Gejala
lokal
Difteria
nasal (2%)
- Sekret hidung serasoinguinosa
- Epistaksis (mimisan)
- Ada membran putih pada septum nadi
Difteri
tonsil dan faring (75%)
- Panas tidak tinggi
- Nyeri telan ringan
- Mual
- Muntah
- Nafas berbau
- Bullneck
Difteri
laring dan trakea
- Sesak nafas hebat
- Stridor inspirator
- Sianosis
- Terdapat retraksi otot suprasternal dan epigastrium
- Laring tampak kemerahan, sembab
- Banyak sekret
- Permukaan tertutup oleh pseudomembran
Difteri
lain
Dapat terjadi di luar saluran nafas, seperti :
- Difteria kulit : Ditandai ulkus terbatas jelas dengan dasar membran putih / abu-abu.
- Difteria konjungtiva : Mengenai konjungtiva palpebra yang ditandai edema-edema adanya membran konjungtiva palpebra.
- Difteri telinga : Ditandai dengan adanya cairan mukopurulen yang perifer
- Difteri vulvovaginal : Ditandai dengan ulkus dengan batas jelas
PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini bergantung pada :
- Umur pasien, makin muda usianya makin jelek prognosisnya
- Perjalanan penyakit, makin terlambat ditemukan makin buruk keadaannya
- Letak lesi difteri, bila di hidung tergolong ringan
- Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk makin buruk keadannya
- Terdapat komplikasi, miokarditis sangat memperburuk prognosis
- Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Penularan KN
watje (kell dan noise)
Dengan lidi wafen dikontaminasikan
pada pseuodmembran yang ada pada lokasi yang terkena, kemudian dimasukkan pada
tabung reaksi dengan media agar-agar dan diperiksa. Apabila pemeriksaan KN 2x
berturut-turut dan bila (–) perubahan positif terjadi.
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat
penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin. Pada urine terdapat albuminuria ringan.
KOMPLIKASI
- Pada saluran pernafasan : terjadi obstruksi jalan nafas, bronchopneumonia, atelektasis
- Kardiovaskuler : miokarditis
- Kelainan pada ginjal : nefritis
- Kelainan saraf kira-kira 10% pasien difteria menjadi komplikasi yang mengenai susunan syaraf terutama sitem motorik dapat berupa : Paralisis palatum mole sehingga terjadi renolaka (suara sengak) tersedak / sukar menelan : dapat terjadi pada minggu I - II
- Paralisis otot-otot mata, dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil / ptosis yang timbul pada minggu III
- Paralisis umum, dapat terjadi minggu IV, kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan otot pernafasan
IMUNISASI
Imunisasi
Primer
Anak usia 6 minggu sampai 6 tahun
Diberikan dosis Td secara im / SC dengan
interval 4 – 6 minggu dimulai ketika anak usia 6 minggu hingga 2 bulan dan
dilanjutkan dengan pemberian ke 4 selama 1 tahun sesudah pemberian ke 3
preparat yang digunakan adalah pediatric taksoid diphteria.
Anak usia 7 tahun atau lebih
Diberikan Td dengan pemberian ke 2 berselang
waktu 4 – 8 minggu diberikan dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang 1
tahun dengan pemberian ke 2, preparat yang digunakan adult taksoid diphteria.
Imunisasi
Boster
- Anak usia 6 minggu sampai 6 bulan apabila pemberian
dosis ke 4 imunisasi primer anak belum berumur 4 tahun maka diberikan boster
ketika anak tersebut mulai masuk TK
- Anak usia 7 tahun atau lebih diberikan boster
setiap 10 tahun
1) Isolasi pasien
2) Pencarian orang karier difteria dengan uji shick
dan kemudian diobati
PENATALAKSANAAN
Pengobatan
Umum
- Isolasi pasien
- Istirahat total
- Makanan lemak mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori
- Kontrol EKG 2-3 kali seminggu selama 4 – 6 minggu, bila terjadi makaditis harus istirahat total di tempat tidur
Pengobatan
Khusus
ADS
(Anti Diphteria Serum)
Sebelum dilakukan pemberian antitoksin, harus
dilakukan tes kepekaan untuk tujuan ini maka 0,1 ml antitoksin dengan
pengenceran 1 : 100 dalam larutan garam yang diberikan secara IC atau pada
sakus konjungtiva. Reaksi positif (eritema 10 mm pada tempat infeksi dalam
waktu 20 menit / konjungtiva dan pengeluaran air mata). Bila pasien sensitif
lakukan desensitasi cara bedreskan dengan cara :
·
0,05 cc ADS +
1, cc Pz secara sc
·
0,1 cc ADS +
1, cc Pz secara sc
·
0,1 cc ADS +
1, cc Pz secara sc
·
0,2 cc ADS +
1, cc Pz secara sc / im
·
0,5 cc ADS +
1, cc Pz secara sc / im
·
2 cc
ADS + 1, cc Pz secara sc / im
·
4 cc
ADS + 1, cc Pz secara sc / im
sisanya diberikan semua kiri dan kanan / jika
kemungkinan secara bertahap 4 cc jarak 15 menit
- Antibiotik, PP 50.000 u/kg/BB/hari sampai 10 hari bila alergi berikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
- Kartiokosteroid, digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokarditis, diberikan prednison 2 mg/kgBB.hari selama 3 minggu yang diberikan secara bertahap
- Bila ada komplikasi paralysis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10 hari berturut-turut.
Bila
Pasien Perlu Dilakukan Trakeostomi
Trakeostomi dilakukan jika pasien mengalami
sumbatan jalan nafas yang berat dengan gejala stridor nspiratoar, gelisah,
dispnea, sianosis, dan terdapat retraksi otot pernafasan. Sumbatan jalan nafas
sering terjadi pada pasien difteria laring dan trakea yang biasanya sudah
disertai bullnek (leher yang besar). Oleh karena itu, jika merawat pasien yang
difteria dengan bullnek harus selalu waspada; bila terdengar stridor, pasien
dibaringkan setengah duduk, berikan O2 sampai 2 liter dan segera lapor dokter. Sementara
itu dibicarakan dengan orangtuanya kemungkinan tindakan dokter. Jika keputusan
dokter pasien harus ditrakeostomi mintalah izin operasi dan yakinkan orangtua bahwa
tindakan tersebut adalah pertolongan yang paling mungkin untuk menolong
anaknya. Jika pasien belum dipasang infus sebelum ke kamar bedah harus dipasang
dulu. Jika pasien telah kembali dari kamar operasi, peranan petugas kesehatan ikut
menentukan keberhasilan trakeostomi tersebut karena bila perawatannya tidak
baik misalnya pengisapan lendir tidak efektif atau kurang memperhatikan
sterilitas akibatnya pernafasan pasien tetap tidak lancar dan komplikasi tetap
terjadi. Pengisapan lendir pada hari pertama setelah operasi merupakan hal yang
paling penting di samping pengawasan keadaan umum pasien (tanda vital).
No comments:
Post a Comment